Sabtu, 29 November 2014

Dentingan Piano Cinta

Cerpen


Malam ini begitu spesial bagiku. Malam yang ditunggu-tunggu. Malam dimana ingin kutunjukkan seluruh kemampuanku. Khususnya, pada sesosok malaikat hebat yang telah lama menjadi inspirasiku. Karena dirinya lah aku bisa menjadi seperti ini. Menjadi yang saat ini.

Dengan mengenakan setelan jas hitam dan dasi kupu-kupu. Aku bersiap menuju panggung istimewa untuk yang pertama kalinya. Ingin sekali dirinya ada disini, melihat dan mendengarkanku dari salah satu kursi penonton. Hati ini sungguh bergelora. Begitu semangat. Terhapus semua kegugupan yang menyelubungi seluruh tubuh. Aku ingin tampil sempurna. Sesempurna kesungguhan hatinya saat itu. Dan seketika aku teringat masa lalu.

................

"Gw ga bisa main musik! Dan ga minat. Jadi, jangan pernah ajak gw nge-band lagi." sergahku saat teman-teman dekat SMA mengajak bergabung dengan band yang mereka bentuk khusus untuk acara class meeting nanti.

Ada alasan mendasar mengapa mereka sampai mengajak aku bergabung. Aku dibesarkan oleh keluarga musisi. Ayah adalah seorang gitaris grup orkestra yang cukup terkenal saat itu. Sedangkan ibu juga merupakan salah satu penyanyinya. Mereka pun bertemu disana hingga kemudian menikah dan memiliki dua orang anak yang salah satunya adalah aku. Kakak perempuanku satu-satunya mengikuti jalur ibu menjadi penyanyi. Dan kini menjadi penyanyi lepas di kafe. Sedangkan aku semenjak kecil berlatih piano klasik.

Aku sangat mencintai piano. Aku sendiri yang memilihnya ketika ayah mengajak aku berkunjung ke studio grup ayah ketika menginjak usia 6 tahun. Disaat ada banyak instrumen yang ada disana, aku langsung mendekati piano dan berusaha untuk memainkannya. Kulihat ayah pun tersenyum dan langsung mendaftarkan aku di tempat les piano untuk mengasah minatku ini.

Aku ingat betul bagaimana ayah dengan penuh semangat mangantarkanku ke tempat les atau sekedar berlatih di studio. Ayah sering menjanjikan sebuah piano yang aku tahu harganya sangat mahal. Aku tak pernah bermimpi untuk memilikinya. Aku masih bisa berlatih di studio ayah. Namun, ayah bersikeras.
"Kamu harus mengembangkan bakatmu. Ayah akan belikan kamu piano suatu saat nanti. Ayah janji"
Dan saat-saat yang ditunggu itu pun tiba. Ayah membelikanku piano tepat di hari ulang tahun yang ke-15. Aku sangat bahagia. Kulihat ayah tersenyum puas. Aku pun berjanji untuk berlatih keras. Aku ingin membuatnya bangga suatu saat nanti.

Hari demi hari kusibukkan diri ini untuk berlatih. Aku tak tertarik untuk menghabiskan masa remaja untuk berkumpul atau mungkin memiliki kekasih seperti umumnya anak muda seusiaku. Aku hanya fokus pada diri sendiri.

Namun, segalanya berubah ketika kejadian pahit itu menimpa keluargaku. Ibu selingkuh dan kemudian meminta cerai. Ayah berusaha untuk mempertahankan keutuhan keluarga namun perceraian nampaknya tidak mampu dihindari. Ibu selingkuh dengan seorang produser kaya raya dan kemudian menetap di luar negeri.

"Ibu jahat. Ibu ga sayang sama ayah. Ibu ga sayang sama Robi juga kakak. Kenapa sih Bu? Ibu egois. Aku benci ibu!!"


Aku emosi. Entah bagaimana caranya, aku sampai hati menghardik ibuku sendiri. Suasana sidang amat mencekam. Kulihat kakak menangis hebat di sudut ruangan sementara ayah berusaha menenangkan. Ibu menangis sepanjang sidang. Mungkin saja air mata palsu. Sang produser mencoba merangkul ibu. Sungguh pemandangan yang memuakkan. Ingin segera kuhapus memori ini. 

Sebelum berangkat ke luar negeri, ibu mengirimkan pesan singkat.

"Tolong jaga dan rawat ayah kamu. Ibu terpaksa harus melakukan ini semua. Sampai kapan pun ibu akan tetap menyayangi dan mendukung kamu."

Aku tidak mengindahkannya. Bagiku, ibu tetap lah seseorang yang egois. Hati ini sudah kadung terluka. Aku tidak akan mampu memaafkan ibu, sampai kapanpun itu.

Ayah terlihat sangat terpukul dan beberapa bulan kemudian jatuh sakit. Aku tahu ayah sangat mencintai ibu. Dokter mendiagnosa bahwa ayah terkena serangan jantung dan butuh biaya yang cukup besar untuk proses operasinya. Aku pun tak tahu harus berbuat apa-apa. Kakak meminta untuk menjual piano kesayanganku karena hanya itulah barang mahal yang kami punya untuk membiayai pengobatan ayah. Aku pun dengan berat hati menjualnya. Aku sedih. Sulit menerima dan menyikapi hal ini. Aku semakin membenci ibu.

Ayah berangsur-angsur pulih. Namun dirinya terlihat lebih tua dari seharusnya. Begitu rapuh. Hingga tak tega diri ini setiap kali melihatnya. Namun aku sangat menyayanginya.

Semenjak kejadian itu, semangat dan hasratku memudar sedikit demi sedikit. Aku tak tahu arah. Rasanya tak mau lagi menatap masa depan. Sulit rasanya menumbuhkan motivasi disaat keluargaku hancur. Ibu selingkuh, ayah sakit-sakitan, dan kakak terasa jauh dariku padahal aku sangat butuh bimbingannya yang saat itu tak mampu aku dapatkan.

Untuk mengusir rasa kesedihan, aku mulai bergaul dengan banyak teman. Tapi, aku enggan apabila mereka berbicara tentang musik ataupun piano. Tidak sedikit dari teman ataupun guru yang meminta aku untuk bermain piano lagi. Namun, dengan tegas aku menolaknya. Setiap kali melihat piano, hati ini rasanya perih. Dan aku pun menjadi teringat selalu perceraian ayah dan ibu.

Hidup penuh kesedihan ini berlangsung cukup lama hingga aku menemukan satu titik yang membuat semangat ini kembali hidup, kembali membakar, dan kembali meraung selayaknya seorang gladiator yang siap untuk menerjang siapapun lawannya.

Aku menemukan kenyataan yang selama ini dirahasiakan oleh ayah dan ibu. Rahasia ini sungguh membuatku semakin menyayangi ayah dan entah mengapa membuatku merelakan dan memaafkan keputusan ibu untuk bercerai.

Rahasia ini diungkapkan sendiri oleh kakak sesaat setelah ayah meninggal dunia ketika usiaku menginjak 18 tahun.


"Adikku Robi. Selama ini aku menjauh darimu karena sejujurnya aku membenci kamu dan juga keputusan ayah yang ingin mengembangkan minat kamu di piano."
"Asal kamu tahu bahwa keluarga kita tidak cukup mampu untuk membeli sebuah piano yang kamu sendiri tahu berapa harganya. Namun, sayangnya ayah sangat bersikeras untuk membelikannya kepadamu. Ayah sangat yakin akan potensi kamu."
"Akhirnya, ayah memutuskan untuk membelikan piano itu dari hasil pinjaman seorang produser kenalan ayah yang kini menjadi suami baru ibu. Ibu dan aku sangat menentang hal itu karena kami tahu bahwa ayah akan sulit untuk melunasi hutangnya itu."
"Sampai akhirnya 2 tahun kemudian, sang produser menekan ayah untuk segera melunasinya atau kalau tidak akan membawanya ke polisi. Aku tahu ayah tidak akan mampu melunasinya. Dan sang produser pun menawarkan solusi kepada ayah untuk menceraikan ibu dan merelakan ibu untuk menikah dengan dirinya."
"Rupanya sang produser ini adalah mantan kekasih ibu dulu. Namun, pada akhirnya ibu lebih memilih ayah. Dan hal itu nampaknya membuat sang produser kecewa dan kini memiliki kesempatan untuk memanfaatkan ayah."
"Kini kamu harusnya telah sadar betapa ayah begitu menyayangi kamu dan berupaya sekuat tenaga untuk mendukung kamu. Aku juga ingin kamu menghargai dan memaafkan keputusan ibu untuk menikah lagi. Aku harap kamu bisa berubah dan kembali bersemangat untuk mewujudkan cita-cita ayah dan kita sekeluarga."
"Maafkan aku yang justru menjauh darimu karena sejujurnya hatiku terus saja menyalahkan kamu atas semua yang menimpa keluarga kita."

Akupun menangis. Entah mengapa air mata ini begitu mudah mengalir membasahi pipi. Namun, setelahnya aku merasa tenang. Aku merasa menjadi seseorang yang baru. Dan aku pun berjanji pada diri ini untuk berjuang dan berupaya untuk berlatih hingga menjadi pianis terkenal suatu saat nanti. Menyelenggarakan konser tunggal, itulah mimpiku.

Aku tahu aku mungkin salah karena memilih untuk mempelajari alat musik yang harganya sangat mahal. Andai saja aku lebih memilih gitar seperti halnya ayah dulu, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Tapi, aku merasa mungkin inilah takdir dan cerita yang ingin Tuhan berikan kepadaku. Aku tidak akan menyia-nyiakan hal itu.


-----THE END-------
Cerpen by trickk (Des 2014)
Genre : drama, family

Rezeki Tambahan

"Rezeki tambahan" Namanya juga pedagang, mendapati pembeli yang menjual kembali barang yang sudah dibeli rasanya biasa. Dan saya ...