Selasa, 03 September 2013

This Isn't My December

Chapter One : This isn't My December

Lokasi rumah kosku yang bersebelahan dengan hamparan kebun jagung membuat telingaku sudah tak asing lagi mendengar nyanyian jangkrik. Namun saat itu aku tak merdengar lagi suara itu, "Oh sudah jam 3 subuh, pantes aja ga ada jangkrik." bisikku dalam hati. Kulihat Ucup masih terjaga seraya menonton DVD yang tampak tak lagi menarik perhatianku. Entah berapa judul film yang telah kami mainkan. Kepalaku terus berputar-putar, keringat dingin mulai terasa di sekujur tubuhku, dan jantungku mulai tak beraturan lagi dalam berirama. Ku tak ingat lagi sudah berapa kali kupandangi jam dinding kamarku, lalu kulihat HP ku sambil berharap ada balasan sms masuk yang sudah lebih dari 4 jam kutunggu.

Aku mencoba mengingat kejadian beberapa jam sebelumnya, saat itu sekitar jam 8 malam dan aku sedang santai sambil membaca-baca iklan di internet,

"Cup, ini ada HP murah-murah di Pos Kota. Kita ambil aja 4, nanti dijual lagi, kan lumayan untung, biar urusan gue aja yang ngejualnya lagi nanti."

Aku tahu iklan ini boleh jadi penipuan, tapi hati kecilku mengatakan tidak, pengalamanku pun demikian. Aku sudah beberapa kali membeli HP melalui iklan yang ada di Harian Pos Kota ini dan kesemuanya berhasil.

"Yaudah Di, gue sih mau-mau aja." jawab Ucup singkat.

Aku berpikir sejenak dalam hati, dari mana uang yang akan aku pergunakan untuk membeli HP-HP ini, aku tak punya tabungan, uang bulananku selalu habis terpakai.

"Gimana kalo kita patungan aja, Cup. Tiga juta-an ya. Tapi gue utang dulu ya, gimana?"

"Gue ada sih uang Di, tapi itu dari Bokap gue buat bayar kuliah, tapi ga papa sih gue pake dulu." jawab Ucup dengan yakin.

"Gue ada 500 ribu cup, sisanya elo ya, jadi nanti gue utang 2 juta setengah dulu. Gimana?"

Tanpa pikir panjang, aku langsung mengirim sms ke si penjual menanyakan harga dan cara pembelian HP tersebut. Namun si penjual meminta DP 50%.

                                                     ...................................

Kuingat saat itu sudah jam 12 malam, dan jalan raya Cimahi terlihat begitu lengang, hanya sesekali kulihat mobil yang masih melintas. Kami putuskan untuk mencari ATM untuk mentransfer DP yang diminta.

"Cup, dia bilang barangnya bakal sampe nanti pagi jam 7, katanya sih dia sekalian nganterin pesenan ke Garut juga."

Sesampainya di kamar, aku berusaha untuk tetap berprasangka baik. Demikian juga halnya Ucup, teman satu kosanku itu, dia memang selalu terlihat tenang, aku tak pernah melihatnya tampak memiliki banyak kesulitan. Meskipun keluarganya tinggal jauh di Sumatera, namun tak tampak raut kerinduan di wajahnya seperti halnya teman-temanku yang lain yang masih saja sering mengeluh ingin pulang kampung karena tak kuasa menahan rindu pada orang tua. Ucup memang semenjak SMA sudah merantau, semenjak itulah dia membentuk kemandirian hidup.

                                                                ..............

"Cup, udah jam 3 nih, elo tidur aja dulu, nanti jam 5 abis subuh biar gue telpon orangnya." Aku memintanya untuk istirahat meskipun aku tahu pasti sulit baginya untuk memejamkan mata di tengah kondisi seperti ini.

Aku bukanlah orang yang sering begadang, bahkan tidur larut malam pun sangat jarang kulakukan. Namun lain halnya malam itu, aku sulit sekali tidur. Pikiranku masih terus bekerja memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Aku memperhitungkan akibat yang harus kupertanggungjawabkan. Selain kerugian materiil, aku juga mempertimbangkan hal moriil yang tentu saja akan memberikan dampak serius buatku dan Ucup nantinya. Aku memikirkan bagaimana cara dia membayar biaya kuliah nya, dan juga bagaimana pula aku harus mengganti hutangku padanya.

Tak terasa pagi telah menyapa, kudengar adzan subuh yang bersahut-sahutan pun menggema di udara. Kutatap langit yang masih gelap, dalam hati ku berdoa dengan mantap, namun aku tahu bahwa jam demi jam yang akan datang akan sangat menentukan. Aku harus segera menelpon si penjual, memastikan akan barang yang kami pesan.

Aku mulai menyadari ada hal-hal yang tidak sesuai. Meskipun teleponku diangkat, namun ternyata bukan dia yang menjawab, melainkan supirnya yang menjelaskan bahwa si Bos sedang mandi dan mereka sudah ada di Cimahi dan sedang menginap di Hotel, tak lupa sang supir menjelaskan bahwa aku harus melunasi pembayaran sisanya jika ingin diantar pagi itu juga, namun apabila tidak, mereka akan memprioritaskan pemesan lainnya.

Kulihat Ucup telah muncul di pintu kamarku seraya menanyakan kelanjutannya. Kuceritakan padanya tentang percakapan terakhirku dengan si penjual. Kulihat Ucup tampak ragu namun juga mengiyakan setiap langkah yang aku putuskan. Dia sangat percaya padaku. Dia menyerahkan segalanya padaku.

"Tapi hari ini kita ada kuliah pagi, Cup, UAS pula, gimana dong? Apa kita bolos aja? Ambil susulan?"

Aku tahu ide yang aku sarankan tidak baik. Aku mengorbankan waktu kuliahku untuk hal lain yang belum pasti kebenarannya. Namun juga aku yakin jikalau aku masuk kuliah, aku tak akan mampu berkonsentrasi dengan baik.

Akhirnya kami putuskan untuk membolos kuliah dan memilih pergi ke Bank. Saat itu sudah hampir jam 8 pagi, langit sangat cerah, lalu lintas jalan raya Cimahi terlihat sangat sibuk seperti biasanya. Begitu halnya dengan suasana di Bank dimana kami berdiri pagi itu. Orang-orang tampak melakukan kesibukannya masing-masing. Tak tampak dari wajah mereka satupun yang memancarkan aura kecemasan seperti halnya kami berdua.

"Halo Pak, sekarang ada dimana ya?" sapaku memulai percakapan di telepon.

"Halo pagi, maaf kalo Bapak tidak bisa mentransfer sisanya sebelum jam 9 ini, kami akan berangkat ke Garut dulu." jawabnya padat.

Tak terasa sudah setengah jam berlalu dan kami masih saja terpaku di tempat. Kami masih ragu akan langkah kami selanjutnya. Kami sadar kami telah ditipu dan merugi, namun apabila kami menuruti permintaan si penjual untuk mentransfer sisanya artinya kami akan merugi dua kali.

Entah setan mana lagi yang ada di kedua telingaku, tanpa ragu aku pun meminta ucup untuk menyelesaikan pembayaran ini sekaligus menyelesaikan semuanya.

"Cup, udah transfer aja lah sisanya. Biar deh rugi dua kali. Kita udah terlanjur masuk. Nanti biar kita sumpahin aja duit yang dia dapet tuh bikin dia menderita sampe tua."

Ucup mengiyakan saja perkataanku, dia langsung masuk Bank, mulai menulis form transfer, dan menunggu antrian. Dia memang tidak bisa menggunakan ATM lagi dikarenakan sudah masuk limit transfer harian. Sedangkan aku memilih menunggu di luar dan terus mencoba untuk tetap berhubungan dengan si penjual.

"Di, udah gue transfer. Kasih tau aja orangnya."

Aku dibuat cukup kaget oleh kedatangannya yang muncul tiba-tiba disaat ku sedang berharap cemas menunggu balasan dan telepon dari si penjual yang tak kunjung tiba. Kulihat jam tanganku telah menunjukkan jam 9 pagi, tepat dengan kesepakatan baru yang kami buat dengan si penjual.

Setelah ku kirim sms konfirmasi, anehnya si penjual langsung menelepon balik dan mengatakan bahwa pesanan kami akan diantar segera dan kami diminta menunggu.

Kami tahu, pesanan kami tidak akan pernah datang, sama halnya dengan keyakinan kami bahwa si penjual sudah tentu akan menghilang.

Aku merenung sejenak, andai saja Ucup tidak mentransfer uang kami saat itu. Andai saja Ucup tidak mengiyakan ide gila ku. Dan andai saja aku lebih memilih belajar dibanding membaca iklan itu. Mungkin ini semua tidak akan pernah terjadi. Ucup tidak perlu kehilangan uangnya yang akan digunakan untuk membayar kuliahnya nanti. Aku juga tidak perlu berhutang sebanyak itu. Dan kami tidak perlu membolos kuliah hari itu.

Kupandangi kalender, kugenggamnya dengan erat, dan kutatapnya dengan lekat. Kutandai hari itu sebagai pengalaman hidupku. Hari itu tepat berada di bulan Desember dimana orang-orang kristiani merayakan Natal, dan orang-orang di seluruh dunia mempersiapkan pesta pergantian tahun. Namun tak demikian denganku, aku yakin aku akan kesulitan melewati pergantian tahun dengan senyuman. Aku kesulitan untuk menghadapi kenyataan pahit ini.

Melalui kejadian ini aku sadar, aku terlalu naif, aku terlalu polos, dan aku terlalu egois. Aku menganggap semua orang itu baik dan jujur. Aku tidak menyadari bahwa di luar sana ada banyak orang jahat yang dengan jeli memanfaatkan kebodohan orang lain. Banyak pelajaran hidup di luar sana yang belum kupelajari.

Meskipun hari itu aku terpuruk, semoga hari itu juga bisa menjadi titik balik ku dalam mengejar semua impianku.



December 2010 by Trickk
Genre : drama, biography

*True Story yang kubuat khusus teruntuk sahabat seperjuanganku, Maulana Yusuf.



1 komentar:

  1. Kisah nyata ya Bang? Jadi kangen sama Ucup :)
    Selalu ada hikmah dibalik kejadian, dan ini udah takdir Allah, ga ada yang kebetulan.
    Jadi disumpahin ga Bang tukang tipunya?

    BalasHapus

Anda dapat memberikan saran dan kritik untuk pengembangan saya dan blog ini kedepan.

Rezeki Tambahan

"Rezeki tambahan" Namanya juga pedagang, mendapati pembeli yang menjual kembali barang yang sudah dibeli rasanya biasa. Dan saya ...